Jumat, 28 Maret 2008

Istikharah; Jodoh dan Politik



Teman saya sewaktu SMA dulu, pernah minta pertimbangan. ‘’Aku kiro-kiro cocok gak yo rabi karo cah kae,’’ katanya. Saya bilang, itu tergantung ‘’kriteria’’ mu selama ini dalam mencari jodoh. Kalau perempuan itu mampu memenuhi apa yang menjadi angan-anganmu dalam mengarungi hidupmu kelak, mengapa tak segera dinikahi. Berarti, jodoh sudah dekat, kataku. ‘’Sik to. Sebabe pacarku sing mbiyen yo jik cedak karo aku. Bapak ibuku sih nyerahne neng aku, kiro-kiro ndi sing apik bagiku, yo iku dadi pilihanmu. Sing penting, criteria iku sesuai karo tuntunane agomo. Yo masalah agomone piye, keturunane sopo, lan kecantikane (relatif cah, red) koyo opo,’’ jelasnya panjang lebar.
Lho, berarti dirimu memiliki dua pilihan? Pertanyaan saya dijawab bisa iya, bisa tidak. Yang terang, teman saya ini ingin memutuskan sesuatu yang akan langgeng menemani hidupnya, dengan hati yang mantap. Pilihan yang tidak salah, tepat sesuai keinginan jiwa. ‘’Aku opo perlu salat istokharah ya. Tapi, opo yo iso aku nglakonine (istikharah, red),’’ dia bertanya.
Ya nggak apa-apa lah. Dari Jabir radhiallahu 'anhu mengatakan: Rasulullah SAW mengajari kami shalat istikharah dalam menghadapi semua urusan, sebagaimana mengajari kami surat Al-Qur'an. Kata beliau: "Apabila salah seorang dari kalian mempunyai rencana ingin melakukan sesuatu, hendaklah dia melaksanakan ruku' dua raka'at yang selain fardhu, kemudian hendaklah ia membaca: (do’anya panjang) Intinya, Ya Allah tunjukkan yang terbaik untuk ku, dekatkan dan mudahkan. Tapi, kalau jelek untuk ku, agamaku, kehidupanku, jauhkanlah. Tetapi, masih harus ada serangkaian ritual yang dilakukan sebelumnya.
Yang menarik, memang biasanya ritual ini dilakukan kaitannya pada pilihan jodoh. Tetapi, saat ini salat istikharah lebih banyak nuansanya. Misalnya, salah satu cawagub Jatim, saat akan menentukan pilihan salah satunya menunggu dilakukannya salat istikharah. Yang paling gres, Muhaimin Iskandar menghadapi sikap DPP PKB yang meminta dirinya mundur dari jabatan Ketua Umum, belum akan menentukan sikap. Karena, juga masih akan melakukan salat istikharah.
Tren ini tampaknya menjadi salah satu indikasi positif langkah politik sang tokoh. Setidaknya, jika ini benar dilakukan dan hasilnya dari petunjuk-Nya seperti yang akan dilakukan sang politisi sekarang atau kedepan sama, maka itu menunjukkan tumbuhnya political morality. Semoga…. (Bravo Citizen Journalism)

Kamis, 27 Maret 2008

Berkesempatan Bertemu Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Gerakan Penyelamatan Lingkungan Demi Masa Depan


Kalau Tidak Sekarang, Kapan Lagi = Kalau Bukan Kita, Sipa Lagi

Hutan kita meranggas. Pepohonan gundul. Ketua PWNU Jawa Timur KH Ali Maschan Moesa menyebut, bencana bukan ulah ''alam''. Tetapi, akibat ulah dan keserakahan manusia. Tak sabar menikmati hasil alam, tanpa memandang akibat atau dampak yang ditimbulkan.
Kerusakan alam kini bisa dirasakan dan dilihat di mana-mana. Madiun, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, Nganjuk, Lamongan, Gresik, Tuban, Bojonegoro, dihantam air bah. Kali meluap, air hujan tak tertampung selokan, lumpur dan batu menghujam dari atas bukit, lereng tak lagi kompromo, menggelontor semua yang ada di bawahnya. Tak pandang manusia, kambing, sapi, ayam, bangunan yang tak salah apa-apa.
Penulis yang juga aktifis Nahdlatul Ulama, tertarik menyerukan selamatkan alam. Bersama program Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup (GNKL), ayo kita serukan penyelamatan alam. Tanam pohon, bukan tebang pohon. Anak cucu kita, masih sangat mungkin mengidamkan kayu untuk membangun rumah, seperti ayah, kakek, buyut mereka dulu. Ya kita ini sekarang. (Penulis berkesempatan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tanda memulai gerakan cinta dan menyelamatkan lingkungan).

Madiun, 26 Desember 2007

Air bah menerjang, masuk kota. Jika sekarang sudah modern, 25 tahun lalu kala Kota Madiun belum seramai seperti ini, air juga pernah menerjang. Target dan sasarannya hampir sama. Perkantora, seperti Kejari, Polwil Madiun, Polresta, Rumah Dinas Wawali, Rumah Dinas Sekkota, Islamic Center, SMP Negeri 1, Pengadilan Negeri, dan unit bisnis warga. Keheningan pagi dini hari, tersapu keruhnya air.
Sumbernya, dari meluapnya Kali Madiun. Salah satu pintu air, rusak. Ketinggian air Kali Madiun, menerjang masuk ke dalam kota. Tak pandang siapa yang digenangi, pertigaan besar di segitiga Stasiun Madiun, Kejaksaan Negeri dan Polwil, bak lautan.

Madiun, 26 Desember 2007