Rabu, 30 April 2008

Hidup


Pokoke
Alkisah, di negara hutan belantara. Suatu hari, raja hutan sang macan memanggil tiga calon mangsanya, kambing, kancil dan monyet. Ketiganya terheran-heran, karena tak biasanya sang raja hutan memanggil untuk berdialog.
‘’Wahai calon mangsaku kambing, kancil dan monyet. Dengarkan. Saya ingin tanya, apakah mulut saya bau busuk?,’’ tanya sang raja hutan. Ketiganya gelagapan, saling pandang. ‘’Wah, saya jawab apa ya. Kalau jujur, saya akan dimangsa. Berbohong, kalau ketahuan langsung diterkam,’’ ketiganya menggerutu.
Ditengah kebingungan menjawab pertanyaan, raja hutan membentak. ‘’Kambing, apa jawabanmu,’’ katanya. ‘’Sang raja, menurut saya mulut sang raja baunya busuk sekali. Sebab, tidak pernah gosok gigi setelah makan daging,’’ katanya. ‘’Kurang ajar, berani-beraninya kamu bilang kalu mulut saya baunya busuk,’’ sang raja hutan marah. Dan, wussss… Kambing diterkam dan dikoyak-koyak lalu dimakan dengan lahapnya.
‘’Kamu kancil, apa jawabanmu,’’ tanya sang macan. ‘’Wah, mulut tuan raja, sangat harum, wangi. Dari sini, saya bisa mencium bau mulut yang begitu harum,’’ kata kancil. ‘’Apa katamu kancil. Beraninya kamu berbohong. Tahu nggak, saya nggak pernah gosok gigi ayau nyukili slilit,’’ katanya sambil melotot memandang kancil. Nasibnya sama denga kambing, dicegkeram lalu dikoyak dan dimakanlah kancil dengan lahap.
Tiba gilirannya, monyet masih termangu. ‘’Saya jujur, dimakan. Saya bohong, juga dimakan. Apa ya jawabannya,’’ katanya dalam hati sambil termenung di saat sang raja hutan lahap menyantap daging kancil. ‘’Hei monyet. Kamu yang terakhir, apa jawabanmu,’’ kata macan. ‘’Maaf tuanu raja hutan. Saya kira, saya tidak bisa mencium bau apa-apa dari mulut tuan. Karena, hidung saya sedang mampet,’’ katanya. Di luar dugaan, jawaban ini mampu menurunkan tensi emosi sang raja hutan. ‘’Oke kalau begitu, sekarang pulanglah. Besok kembali lagi ke sini, kalau hidungmu sudah nggak mampet lagi ya,’’ kata macan. Monyet girang dan tancap gas meninggalkan hewan buas itu.
Tampaknya, si monyet menggunakan jurus ampuh berkomunikasi dalam keadaan serba repot. Sama repotnya, saat seseorang ditari mendukung kandidat tertentu. Baik calon bupati, wakil bupati, wali kota dan calon wali kota hingga gubernur bersama pasangannya. Jurus mencari aman. Saat ini, tren jurus itu banyak digunakan masyarakat. Ya, dalih hidup dalam era demokrasi. Cari amannya lah, karena kenal dengan semua calon raja, juga ingin dapat apa-apa dari semua calon raja itu.
Meski, ada juga yang menggunakan pendekatan logika menjawab ala kambing dan kancil. Ada yang mengatakan, pokoke saya akan milih yang tidak pernah tersangkut korupsi. Atau, pokoke milih yang perjalanan hidup atau track record-nya baik. Yang lebih parah, ada yang menggunakan dalih, saya nggak milih satupun karena jelek-jelek calonnya.
Dalam kondisi seperti ini mungkin logika yang pali bisa diterapkan adalah, siapa yang memiliki track record jelek paling sedikit. Atau, memiliki kekurangan yang paling minim. Sebab, semua kandidat tentu memiliki kelemahan. Sementara, masyarakat dihadapkan pada pilihan mencari pemimpin. Tentu, carilah yang amanah. Mampu mengemban kepercayaan masyarakat. Pemimpin yang bisa menyejahterakan rakyat. Pemimpin yang kedepan tak membeda-bedakan dulu yang milih dan tidak milih dari kelompok mana. Pemimpin yang mampu mengayomi semua pihak. Sebuah keinginan sederhana dari rakyat, yang dipimpin sang raja. Kuat, tangguh, bijak, toleran, mengerti, bersih, jujur, amanah alias tak korup, dan tahu kebutuhan rakyatnya. ****

Tidak ada komentar: