Rabu, 29 Oktober 2008

Kenali Kelemahan Diri

PERTAPA DAN ALAT PEMOTONG KAYU

Pada suatu hari, ada seorang pertapa yang ingin membuat sebuah rumah. Selama hidupnya, dia hidup di dalam sebuah gua yang kecil. Yang pertama dia lakukan adalah turun gunung untuk membeli alat pemotong kayu di took peralatan di kota terdekat. “Saya ingin pindah dari gua saya dan bermaksud membuat rumah sendiri dari batang kayu”, begitu kata pertapa ini dengan bangga kepada pelayan toko. Lalu dia melanjutkan penjelasannya, “ Saya perlu alat pemotong kayu yang paling baik, tidak masalah berapapun harganya.

Pelayan toko yang masih muda tersebut segera menuju gudang tempat penyimpanan alat-alat yang dijualnya. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sebuah alat pemotong kayu yang tampak bagus dan mengkilap. “Ini alat pemotong yang terbaik yang ada di pasaran.”, kata pelayan itu dengan mantap. “Dengan alat pemotong ini anda bisa menebang kayu bagai pisau memotong mentega. Saya jamin dengan alat pemotong kayu ini, pekerjaan memotong dan menebang kayu yang memakan waktu sebulan, bisa diselesaikan dalam waktu satu hari saja. Jika tidak terbukti, saya berani mengembalikan uang anda dari kantong pribadi saya.”

Karena si pertapa ini sangat tertarik dengan penjelasan pelayan toko tadi, maka dia membeli alat tersebut. Lalau ia kembali kegunung tempat dia bertapa.

Sebulan setelah itu, ketika si pelayan toko sedang sibuk membereskan barang dagangannya, ia mendengar suara teriak si pertapa., “Hei anak muda!!!! Saya datang untuk mengembalikan alat pemotong kayuini. Tolong kembalikan kembalikan uang saya seperti janji anda dulu.”

Si pelayan toko memndang wajah tua si pertapa itu. Ia tertegun melihat penampilan yang sudah tidak karuan. Si pertapa tampak seperti tidak tidur selama berminggu-minggu. Pada pakaiannya tampak bercak darah dan keringan. Kelihatannya isa telah bekerja setengah mati.

“A…a…a..apa yang terjadi dengan bapak??? WAjah anda begitu memprihatinkan!!” Tanya pelayan toko tergagap-gagap.

Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada padanya, si pertapa tua mengangkat alat pemotong kayu ke meja penjualan. Sambil bersungut-sungut, ia berkata, “Alat pemotong kayu macam apa yang anda jual pada saya??? Katanya, alat pemotong kayu ini mampu menebang pohon dalam sehari saja. Saya sudah menggunakan alat pemotong ini selama 30 hari, tapi pekerjaan saya belum selesai juga. Seperti yang anda janjikan, tolong kembalikan uang saya.”

Si pelayan toko yang merasa keheranan lalu minta maaf dan berkata, “Tentu!!! Janji memang harus ditepati. Tetapi, tolong coba saya periksa dulu alat penebang kayu ini. Siapa tahuada yang tidak beres.”

Lalu si pelayan toko segera menarik tali yang ada pada alat penebang itu. Kontan saja alat itu berbunyi, “B-R-R-R-R-R-R-R-R-R!!!!”

Saking terkejutnya, si pertapa langsung terhempas ke belakang meja penjualan. Ia merasa seakan mendengar bunyi peluru yang ditembakkan dari alat pemotong itu. Lalu ia berteriak kepada pelayan toko, “BUNYI APAKAH ITU???”

Apa yang bisa kita pelajari dari cerita diatas???

“Seringkali kegagalan bukan disebabkan karena minimnya kemampuan atau usaha kita untuk mengerjakan sesuatu. Seringkali kegagalan disebabkan karena miskinnya pengetahuan yang kita miliki. Kita telah menjadi orang yang sangat tidak mau belajar sesuatu.”

Kamis, 16 Oktober 2008

Hanya Koin Kuno Penyok

Diceritakan, seorang lelaki keluar dari pekarangan rumahnya, berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Sudah cukup lama dia menganggur. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Sementara para tetangga sibuk memenuhi rumahnya dengan barang mewah, ia masih bergelut memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok sandang dan pangan. Anak-anaknya sudah lama tak dibelikan pakaian, istrinya sering marah-marah karena tak dapat membeli barang rumah tangga yang layak. Dia tak tahan dengan kondisi ini. Ditambah, tak yakin bahwa perjalanannya kali ini akan membawa keberuntungan, yakni mendapatkan pekerjaan. Ketika menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya terantuk sesuatu. Merasa penasaran ia membungkuk dan mengambilnya. ’’Ah, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok,” gerutunya dalam hati dengan perasaan kecewa. Meski begitu ia membawa koin itu ke sebuah bank. ’’Sebaiknya koin ini Bapak bawa saja ke kolektor uang kuno,’’ kata petugas bank memberi saran. Lelaki itupun mengikuti anjuran dan membawa koinnya kekolektor. Beruntung sekali, si kolektor menghargai koin itu senilai 30 dollar. Begitu senangnya, dia mulai memikirkan apa yang akan dilakukan dengan rejeki nomplok ini. Ketika melewati sebuah toko perkakas, dia melihat beberapa lembar kayu sedang diobral. Dari kayu itu, dia bisa membuat beberapa rak untuk istrinya. Karena istrinya pernah berkata mereka tak punya tempat untuk menyimpan toples. Sesudah membeli kayu seharga 30 dollar, dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang. Di tengah perjalanan sang lelaki melewati kios pembuat mebel. Mata
pemilik kios sudah terlatih melihat kayu berkualitas. Saat lelaki itu melintas, pemilik kios melihatnya. Kayunya indah, warnanya bagus, dan mutunya terkenal. Kebetulan pada waktu itu ada pesanan mebel. Dia menawarkan uang sejumlah 100 dollar kepada lelaki itu.
Terlihat ragu-ragu di mata laki-laki itu, namun pengrajin itu meyakinkannya dan dapat menawarkannya mebel yang sudah jadi agar dipilih lelaki itu. Kebetulan di sana ada lemari yang pasti disukai istrinya. Dia menukar kayu tersebut dan meminjam sebuah gerobak untuk membawa lemari itu. Dia pun segera membawanya pulang. Di tengah perjalanan dia melewati perumahan baru. Seorang wanita yang sedang mendekorasi rumah barunya melongok keluar jendela dan melihat lelaki itu mendorong gerobak berisi lemari yang indah. Si wanita terpikat dan menawar dengan harga 200 dollar. Ketika lelaki itu nampak ragu-ragu, si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Kemudian mengembalikan gerobak ke pengrajin dan beranjak pulang. Di pintu desa dia berhenti sejenak dan ingin memastikan uang yang ia terima. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Pada saat itu seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur. Istri si lelaki kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya berkata, “Apa yang terjadi? Engkau baik saja kan? Apa yang diambil oleh perampok tadi?” Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, “Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi”. Bila kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?

Kisah berikut, diadaptasi dari The Healing Stories karya GW Burns.

Rabu, 30 April 2008

Hidup


Pokoke
Alkisah, di negara hutan belantara. Suatu hari, raja hutan sang macan memanggil tiga calon mangsanya, kambing, kancil dan monyet. Ketiganya terheran-heran, karena tak biasanya sang raja hutan memanggil untuk berdialog.
‘’Wahai calon mangsaku kambing, kancil dan monyet. Dengarkan. Saya ingin tanya, apakah mulut saya bau busuk?,’’ tanya sang raja hutan. Ketiganya gelagapan, saling pandang. ‘’Wah, saya jawab apa ya. Kalau jujur, saya akan dimangsa. Berbohong, kalau ketahuan langsung diterkam,’’ ketiganya menggerutu.
Ditengah kebingungan menjawab pertanyaan, raja hutan membentak. ‘’Kambing, apa jawabanmu,’’ katanya. ‘’Sang raja, menurut saya mulut sang raja baunya busuk sekali. Sebab, tidak pernah gosok gigi setelah makan daging,’’ katanya. ‘’Kurang ajar, berani-beraninya kamu bilang kalu mulut saya baunya busuk,’’ sang raja hutan marah. Dan, wussss… Kambing diterkam dan dikoyak-koyak lalu dimakan dengan lahapnya.
‘’Kamu kancil, apa jawabanmu,’’ tanya sang macan. ‘’Wah, mulut tuan raja, sangat harum, wangi. Dari sini, saya bisa mencium bau mulut yang begitu harum,’’ kata kancil. ‘’Apa katamu kancil. Beraninya kamu berbohong. Tahu nggak, saya nggak pernah gosok gigi ayau nyukili slilit,’’ katanya sambil melotot memandang kancil. Nasibnya sama denga kambing, dicegkeram lalu dikoyak dan dimakanlah kancil dengan lahap.
Tiba gilirannya, monyet masih termangu. ‘’Saya jujur, dimakan. Saya bohong, juga dimakan. Apa ya jawabannya,’’ katanya dalam hati sambil termenung di saat sang raja hutan lahap menyantap daging kancil. ‘’Hei monyet. Kamu yang terakhir, apa jawabanmu,’’ kata macan. ‘’Maaf tuanu raja hutan. Saya kira, saya tidak bisa mencium bau apa-apa dari mulut tuan. Karena, hidung saya sedang mampet,’’ katanya. Di luar dugaan, jawaban ini mampu menurunkan tensi emosi sang raja hutan. ‘’Oke kalau begitu, sekarang pulanglah. Besok kembali lagi ke sini, kalau hidungmu sudah nggak mampet lagi ya,’’ kata macan. Monyet girang dan tancap gas meninggalkan hewan buas itu.
Tampaknya, si monyet menggunakan jurus ampuh berkomunikasi dalam keadaan serba repot. Sama repotnya, saat seseorang ditari mendukung kandidat tertentu. Baik calon bupati, wakil bupati, wali kota dan calon wali kota hingga gubernur bersama pasangannya. Jurus mencari aman. Saat ini, tren jurus itu banyak digunakan masyarakat. Ya, dalih hidup dalam era demokrasi. Cari amannya lah, karena kenal dengan semua calon raja, juga ingin dapat apa-apa dari semua calon raja itu.
Meski, ada juga yang menggunakan pendekatan logika menjawab ala kambing dan kancil. Ada yang mengatakan, pokoke saya akan milih yang tidak pernah tersangkut korupsi. Atau, pokoke milih yang perjalanan hidup atau track record-nya baik. Yang lebih parah, ada yang menggunakan dalih, saya nggak milih satupun karena jelek-jelek calonnya.
Dalam kondisi seperti ini mungkin logika yang pali bisa diterapkan adalah, siapa yang memiliki track record jelek paling sedikit. Atau, memiliki kekurangan yang paling minim. Sebab, semua kandidat tentu memiliki kelemahan. Sementara, masyarakat dihadapkan pada pilihan mencari pemimpin. Tentu, carilah yang amanah. Mampu mengemban kepercayaan masyarakat. Pemimpin yang bisa menyejahterakan rakyat. Pemimpin yang kedepan tak membeda-bedakan dulu yang milih dan tidak milih dari kelompok mana. Pemimpin yang mampu mengayomi semua pihak. Sebuah keinginan sederhana dari rakyat, yang dipimpin sang raja. Kuat, tangguh, bijak, toleran, mengerti, bersih, jujur, amanah alias tak korup, dan tahu kebutuhan rakyatnya. ****

Senin, 21 April 2008

Jogja

KA Sancaka dan Trans Jogja

Apa hubungannya? Bagi saya, jelas ada. Sebab, karena keterlambatan kedatangan KA Sancaka pada Sabtu 19 April 2008 lalu, saya jadi tak bisa menikmati transportasi baru Trans Jogja. Sebuah terobosan transportasi baru di Jogja, layaknya Trans Jakarta.
KA Sancaka menuju Jogja dari Surabaya seharusnya tiba di Madiun 17.44 WIB. Nyatanya, baru datang pukul 18.37. Ah, benar kata Iwan Fals, kereta terlambat itu biasa. Tetapi, menjadi luar biasa, ketika keterlambatannya hampir sejam, tanpa pemberitahuan pasti penyebabnya apa.
Tiba di Stasiun Tugu Jogjakarta, sudah lewat dari pukul 21.00 WIB. Jalan kaki menuju halte Trans Jogja, hanya didapati cewek cantik yang melayani penumpang rute dalam kota. Tampaknya, saya belum mujur, menikmati bus ber-AC dengan tarif hanya Rp 3.000.
Sebab, jurusan yang akan saya tuju, terkahir pukul 20.15 WIB. Kalau saja KA Sancaka tidak terlambat datang, saya bisa naik bus bantuan Departemen Perhubungan itu. Padahal, sudah disediakan bus lebih dari 50 unit dan 32 lebih halte khusus. Tentu, bukan untuk melayani saya semua, tetapi saya juga berhak naik. Dan, tidak jadi naik, lagi-lagi karena KA Sancaka terlambat datang.
Bertolak dari fenomena transportasi di Jogja itu, saya berfikir, hal serupa bisa dilakukan di Surabaya atau Malang. Dua kota di Jawa Timur yang tingkat kepadatannya sudah luar biasa. Malang bahkan kini mendapat julukan ‘’kota seribu angkot’’. Sementara Surabaya, rencana busway masih terkatung-katung karena ada pro dan kontra.
Mengaca di Jogja, saya fakir dua kota itu bisa melakukannya. Hanya butuh sentuhan kebijakan berani, untuk mengurai sarana transportasi dalam kota. Halte di Jogja, tak makan tempat yang luas. Jalan di kota gudeg itupun, lebarnya tak jauh beda dengan Surabaya atau Malang. Tetapi, sarana angkutan masal memang menjadi alternatif perkotaan mengurangi kepadatan kendaraan.
Kebijakan ini cukup populis, ketika masyarakat sebagian masih banyak menggunakan fasilitas angkutan lain. Seperti becak, ojek dan lainnya yang secara cost lebih tinggi. Trans Jogja melewati banyak tempat penting seperti Malioboro, UGM, Keraton, pasar Beringharjo, Taman Pintar, dan ikon Jogja lainnya. Terobosan yang bisa dilakukan oleh semua. (*)

Minggu, 20 April 2008

Romantika

Antara Aku, Kau dan Dia

Jumat 18 April 2008 sekira pukul 11.07, di Juanda International Airport. Menuju lantai dua tempat biasanya pengantar menikmati pemandangan landing dan take off pesawat,, beda dari biasanya. Dua escalator yang mengapit prasasti peresmian bandara Juanda oleh Presiden RI, mati. Dua tangga dengan puluhan anak tangga beralas marmer, diberi peringatan khusus. Ada tulisan ‘’batas suci’’ di ujung tangga paling atas. Di bawah, hanya tulisan penunjuk tempat Salat Jumat, tak menghalangi tangga itu. Beberapa petugas cleaning service berseragam biro bermotif batik di tengan, tampak sibuk membersihkan tempat itu.
‘’Bu, tolong turun, wis resik iku arep nggo Jumatan,’’ teriak salah seorang petugas cleaning service kepada serombongan ibu dan anak yang asyik duduk di anak tangga atas. Tentu, mereka masih mengenakan sandal. Rak kunjung turun, petugas tampak menggerutu, mendongakkan kepala ke arah pengunjung itu.
Ya, saya menganggap wajar peringatan itu. Sebab, lantai dua itu, sejam kedepan akan dipakai Salat Jumat dengan Imam dan Khotib H. Imam Hambali. Tetapi, perawaan wajar saya menjadi berubah. Kenapa? Salah satu rekan si cleaning service itu, malah naik tangga. Tentu, lengkap dengan alat tugasnya. Masih bersepatu, menenteng pel basah tidak ditadahi ember atau alat apapu. Sehingga kalau lap itu dalam kondisi basah, air bisa menetes di mana-mana. Termasuk, di tempat si ibu dan anak-anaknya tadi cangkruk. Atau setidaknya, sepatu petugas, naik ke tempat yang oleh rekannya tadi, dilarang.
Ohhhh. Sungguh ironis, naik tangga yang tadi katanya sudah dibersihkan untuk persiapan Jumatan, ‘’dikotori’’ lagi oleh regu pembersih yang tadi melarang orang yang dinilai mengotorinya. Andai aku jadi kau cleaning service tadi, mungkin bijak jika sepatu saya lepas, atau alat pel saya tidak tenteng. Atau lebih bijak lagi, tidak naik ke lantai dua, karena di sana sudah ada petugas lain. Dan ternyata, ketika jumatan berlangsung pun, sepatu naik ke atas. Semuanya, ratusan jamaah.
Atau, andai aku jadi dia si ibu, aku akan segera turun tanpa harus dihardik petugas. Kenapa? Karena sebelum si ibu naik, ada beberapa rombongan bapak-bapak yang naik, diminta lagi turun karena sedang dalam proses dibersihkan. Atau, kalau aku jadi aku yang melihat pemandangan itu, semua tak perlu terjadi bila kita semua disiplin. Saling menghargai. Petugas kebersihan, memiliki kewajiban membersihkan tempat yang sudah menjadi tugasnya. Dan, pengunjung pun, disiplin karena sudah ada keterangan lokasi tersebut akan dipakai jumatan, ya harusnya tidak dikotori dengan alas sepatu, sandal yang sudah menginjak kotoran entah dimana. Semua, berawal dari displin. (*)

Kamis, 17 April 2008

Hidup

Kembali Ke Titik Nol
Rabu petang 16 April 2008 lalu saat saya melintas by pass Krian menuju Surabaya, Radio Suara Surabaya menyiarkan kisah sarat makna. Cerita itu, dituturkan salah seorang General Manager (GM) sebuah hotel di Surabaya. Kembali Ke Titik Nol.
Ini cerita tentang sepasang suami isteri. Sang suami, berpenghasilan minim harus memenuhi berbagai permintaan isterinya. Mobil mengkilap, rumah mewah, banyak duit dan kebutuhan hidup seperti makanan yang serba bergengsi. Tentu, ini cukup berat bagi sang suami.
Suatu hari, sang suami mengajak isterinya menjenguk salah seorang saudara sang suami di salah satu rumah sakit. Saudaranya itu, sakit cukup parah karena pola makan dan gaya hidup yang kurang sehat Makanan instant alias cepat saji dengan menu monoton tetapi kelas tinggi, menjadi gaya santapan saban hari. Sang suami bertanya kepada isterinya, ‘’Isteriku, apakah kau mau jika harus sakit karena makanan yang dimakan sehari-hari seperti itu? Sontak sang isteri menjawab, ‘’Tentu tidak suamiku. Aku masih ingin hidup sehat,’’ kata sang isteri.
Di saat lain, sang suami mengajak isterinya jalan-jalan. Saat melintas di depan rumah mewah, keduanya melihat sepasang kakek nenek keluar dari rumah itu. sang suami kembali bertanya, ‘’Isteriku, apakah kau mau tiba-tiba menjadi tua? Ditanya seperti itu, sang isteri agak merengut sambil menjawab, ‘’Tentu tidak suamiku. Aku masih ingin tetap muda, meski rumahnya tak semewah kakek dan nenek itu tadi,’’ ujar sang isteri.
Tiba di rumah, keduanya duduk termenung, menyimak berita di radio. Ada sebuah berita yang mereka dengarkan bersama. Seorang perampok bank yang berhasil menggondol uang miliaran rupiah, mati tertembus peluru aparat. Setelah itu, terdengar pula siaran berita, mobil mewah mengalami kecelakaan dan tewas seketika.
Sang suamipun kembali bertanya, ‘’Isteriku, apakah kau mau punya duit banyak dan mobil mewah, jika harus mati saat ini? Sang isteri marah ditanya suaminya begitu. ‘’Tentu tidak suamiku, aku masih ingin tetap hidup,’’ begitu katanya.
Kisah ini menjadi sebuah cerita berharga. Bahwa kesehatan, kesempatan memiliki panjang umur, kelonggaran melakukan sesuatu, berfikir jernih, adalah aset tak ternilai harganya. Kesehatan tubuh dan kesempatan bagi manusia, melebihi kepintaran computer Pentium IV, laptop dengan teknologi tercanggih hingga handphone dengan berbagai fasilitas terbaru.
Kembali ke titik nol, bahwa potensi yang ada di diri kita, adalah tinggal bagaimana kita memanage dnegan baik. Agar, kesehatan, kesempatan, peluang, termanfaatkan sebagai bagian dari dinamika hidup positif. (*)

Senin, 14 April 2008

Refleksi

‘’SMS’’
Pesan singkat atau Short Messege Service (SMS) belakangan menjadi salah satu alternatif penyampai pesan paling diminati. Booming, mengalahkan kirim surat via pos, seiring pesatnya perkembangan teknologi handphone. Tak hanya itu, SMS belakangan dipakai istilah kandidat atau calon Bupati Magetan, Sumantri – Samsi yang menggunakan singkatan ‘’SMS’’. Maklum, kandidat tampak berpacu menggunakan istilah yang mudah dikenal masyarakat, melekat di hati dan ujung-ujungnya bisa nyoblos kandidat itu.
Tetapi, terlepas dari SMS itu pesan singkat atau singkatan untuk kandidat, calon bupati tampaknya tak boleh begitu saja mengabaikan SMS. Belakangan, ketika saya sering membaca Radar Madiun (koran Jawa Pos Group), SMS tampaknya menjadi pesan bermakna bagi para kandidat bupati, semuanya tak hanya ‘’SMS’’.
Rubrik aspirasi via pesan singkat menjadi ajang rakyat menyampaikan aspirasi. Ada yang bilang jalan rusak tak kunjung diaspal, menolak penggusuran, meminta modal usaha, hingga penataan lalu lintas. Ada juga, yang mengaspirasikan seputar potensi tindak kriminal, sampai permintaan solusi agar banjir tak lagi terjadi.
Menurut saya, pesan atau aspirasi warga ini tak sekadar kasus yang menjadi monopoli daerah tertentu. Sebab, berbagai persoalan yang diutarakan, entah warga Madiun, Ponorogo, Pasitan, Magetan atau Ngawi, jamak terjadi di wilayah lain.
Itu artinya, siapapun yang saat ini menjadi pemimpin, pengemban amanat rakyat, yang dipercaya duduk di depan, setidaknya mau mendengarkan jeritan tersebut. Terlebih, mereka yang mau mencalonkan diri.
Dalam konteks ini, SMS menjadi penting bagi ‘’SMS’’ dan kandidat lain. Atau, SMS juga penting bagi pemimpin daerah yang kembali ingin menjadi ‘’SMS’’, jadi sang incumbent.
Aspirasi yang diteriakkan warga, sejatinya mendasar. Sebuah kebutuhan pelayanan minimal. Pelayanan kesehatan terjangkau (biaya dan letaknya), pendidikan yang murah dan memadai, infrastruktur ekonomi yang lancar serta terjaminnya ‘’nasib’’ hidup masyarakat melalui terciptanya suasana kondusif atau sosial damai. Semoga. (*)

Jumat, 04 April 2008

Sahara Rasa

Embun gersang di titik panas rasa

Tak kuasa menetes, bak peluh

Menangis, menebar rasa di terik asa

Jumat, 28 Maret 2008

Istikharah; Jodoh dan Politik



Teman saya sewaktu SMA dulu, pernah minta pertimbangan. ‘’Aku kiro-kiro cocok gak yo rabi karo cah kae,’’ katanya. Saya bilang, itu tergantung ‘’kriteria’’ mu selama ini dalam mencari jodoh. Kalau perempuan itu mampu memenuhi apa yang menjadi angan-anganmu dalam mengarungi hidupmu kelak, mengapa tak segera dinikahi. Berarti, jodoh sudah dekat, kataku. ‘’Sik to. Sebabe pacarku sing mbiyen yo jik cedak karo aku. Bapak ibuku sih nyerahne neng aku, kiro-kiro ndi sing apik bagiku, yo iku dadi pilihanmu. Sing penting, criteria iku sesuai karo tuntunane agomo. Yo masalah agomone piye, keturunane sopo, lan kecantikane (relatif cah, red) koyo opo,’’ jelasnya panjang lebar.
Lho, berarti dirimu memiliki dua pilihan? Pertanyaan saya dijawab bisa iya, bisa tidak. Yang terang, teman saya ini ingin memutuskan sesuatu yang akan langgeng menemani hidupnya, dengan hati yang mantap. Pilihan yang tidak salah, tepat sesuai keinginan jiwa. ‘’Aku opo perlu salat istokharah ya. Tapi, opo yo iso aku nglakonine (istikharah, red),’’ dia bertanya.
Ya nggak apa-apa lah. Dari Jabir radhiallahu 'anhu mengatakan: Rasulullah SAW mengajari kami shalat istikharah dalam menghadapi semua urusan, sebagaimana mengajari kami surat Al-Qur'an. Kata beliau: "Apabila salah seorang dari kalian mempunyai rencana ingin melakukan sesuatu, hendaklah dia melaksanakan ruku' dua raka'at yang selain fardhu, kemudian hendaklah ia membaca: (do’anya panjang) Intinya, Ya Allah tunjukkan yang terbaik untuk ku, dekatkan dan mudahkan. Tapi, kalau jelek untuk ku, agamaku, kehidupanku, jauhkanlah. Tetapi, masih harus ada serangkaian ritual yang dilakukan sebelumnya.
Yang menarik, memang biasanya ritual ini dilakukan kaitannya pada pilihan jodoh. Tetapi, saat ini salat istikharah lebih banyak nuansanya. Misalnya, salah satu cawagub Jatim, saat akan menentukan pilihan salah satunya menunggu dilakukannya salat istikharah. Yang paling gres, Muhaimin Iskandar menghadapi sikap DPP PKB yang meminta dirinya mundur dari jabatan Ketua Umum, belum akan menentukan sikap. Karena, juga masih akan melakukan salat istikharah.
Tren ini tampaknya menjadi salah satu indikasi positif langkah politik sang tokoh. Setidaknya, jika ini benar dilakukan dan hasilnya dari petunjuk-Nya seperti yang akan dilakukan sang politisi sekarang atau kedepan sama, maka itu menunjukkan tumbuhnya political morality. Semoga…. (Bravo Citizen Journalism)

Kamis, 27 Maret 2008

Berkesempatan Bertemu Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Gerakan Penyelamatan Lingkungan Demi Masa Depan


Kalau Tidak Sekarang, Kapan Lagi = Kalau Bukan Kita, Sipa Lagi

Hutan kita meranggas. Pepohonan gundul. Ketua PWNU Jawa Timur KH Ali Maschan Moesa menyebut, bencana bukan ulah ''alam''. Tetapi, akibat ulah dan keserakahan manusia. Tak sabar menikmati hasil alam, tanpa memandang akibat atau dampak yang ditimbulkan.
Kerusakan alam kini bisa dirasakan dan dilihat di mana-mana. Madiun, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, Nganjuk, Lamongan, Gresik, Tuban, Bojonegoro, dihantam air bah. Kali meluap, air hujan tak tertampung selokan, lumpur dan batu menghujam dari atas bukit, lereng tak lagi kompromo, menggelontor semua yang ada di bawahnya. Tak pandang manusia, kambing, sapi, ayam, bangunan yang tak salah apa-apa.
Penulis yang juga aktifis Nahdlatul Ulama, tertarik menyerukan selamatkan alam. Bersama program Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup (GNKL), ayo kita serukan penyelamatan alam. Tanam pohon, bukan tebang pohon. Anak cucu kita, masih sangat mungkin mengidamkan kayu untuk membangun rumah, seperti ayah, kakek, buyut mereka dulu. Ya kita ini sekarang. (Penulis berkesempatan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tanda memulai gerakan cinta dan menyelamatkan lingkungan).

Madiun, 26 Desember 2007

Air bah menerjang, masuk kota. Jika sekarang sudah modern, 25 tahun lalu kala Kota Madiun belum seramai seperti ini, air juga pernah menerjang. Target dan sasarannya hampir sama. Perkantora, seperti Kejari, Polwil Madiun, Polresta, Rumah Dinas Wawali, Rumah Dinas Sekkota, Islamic Center, SMP Negeri 1, Pengadilan Negeri, dan unit bisnis warga. Keheningan pagi dini hari, tersapu keruhnya air.
Sumbernya, dari meluapnya Kali Madiun. Salah satu pintu air, rusak. Ketinggian air Kali Madiun, menerjang masuk ke dalam kota. Tak pandang siapa yang digenangi, pertigaan besar di segitiga Stasiun Madiun, Kejaksaan Negeri dan Polwil, bak lautan.

Madiun, 26 Desember 2007